Kamis, 25 Juli 2013

Methode Ijtihad


Mengingat kembali pelajaran MA di bangku kuliah... yu.......!!!!!





BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang

Ijtihad merupakan upaya untuk menggali suatu hukum yang sudah ada pada zaman Rasulullah SAW. Hingga dalam perkembangan, ijtihad dilakukan oleh para sahabat, tabi’in serta masa-masa selanjutnya hingga sekarang ini. Meskipun pada periode tertentu apa yang kita kenal dengan masa taqlid, ijtihad tidak diperbolehkan, tetapi pada masa periode tertentu pula (kebangkitan atau pembaharuan), ijtihad mulai dibuka kembali. Karena tidak bisa dipungkiri, ijtahad adalah suatu keharusan, untuk menaggapi tentang kehidupan yang semakin kompleks problematikanya.
Sekarang banyak ditemui perbedaan-perbedaan madzhab dalam hukum islam yang disebabkandari ijtihad. Misalnya bisa dipetakan islam kontemprorer seperti islam liberal, fundamental, exstrimis, moderat, dan lain sebagainya. Semuanya itu tidak lepas dari hasik ijtihad dan sudah tentu masing-masing mujtahid berupaya untuk menemukan hukum yang terbaik. Justru dengan ijtihad, islam menjadi luwes, dinamis, fleksibel, cocok dalam segala lapis waktu, tempat dan kondisi. Dengan ijtihad pula, syari’at islam menjadi “tidak bisu”dalam menghadapi problematika kehidupan yang semakin kompleks.
Adapun methode ijtihad yang akan saya bahas dalam makalah ini:
1.      Istihsan
2.      Istishab
3.      Mashalih Al-Mursalah
4.      Al-Urf
5.      Syar’u Man Qablana
6.      Saddu Al-Dzari’ah
7.      Madzhab Shahabi
8.      Dalalat Al-Iqtiran




















BAB II
PEMBAHASAN



A.    IJTIHAD

1.      Pengertian Ijtihad
Kata ijtihad berasal dari kata ijtihaada-yajtahidu-ijtahada yang berarti:”bersungguh-sungguh, rajin, giat”.
Kemudian dikalangan ulama, perkataan ijtihad ini khusus digunakan dalam pengertian usaha yang sungguh-sungguh dari seorang ahli hukum syari’at. Jadi, dengan demikian, ijtihad adalah perbuatan menggali hukum syar’iyyah dari dalil-dalilnya yang terperinci dalam syari’at. Orang yang melakukan ijtihad disebut mujtahid.
Secara terminology, Ijtihad adalah pengerahan segala kesanggupan seorang faqih (pakar hukum Islam) untuk memperoleh pengetahuan tentang hukum sesuatu melalui dalil syara’ (agama), kenyataan menunjukkan bahwa ijtihad dilakukan di berbagai bidang, yang mencakup aqidah, mu’amalah, politik, tasawuf dan falsafat.

Adapun Ijtihad menurut para ulama:
a.       Menurut Ibnu Hajib
Ijtihad adalah pengerahan segenap kemampuan yang dilakukan oleh seorang ahli fiqih untuk mendapatkan suatu tahap dugaan kuat terhadap adanya sebuah ketetapan syari’ah.
b.      Menurut Dr.Wahbah Az-Zuahily
Beliau menyimpulkan bahwa ijtihad adalah upaya mengistimbatkan hukum - hukum syara’ dari dalil-dalilnya secara rinci.
c.       Menurut imam Al-Ghazali
Bahwa ijtihad lebih umum dari qiyas karena kadang kadang ijtihad melakukan penalaran yang mendalam terhadap lafadz yang umum dan dalil-dalil selain qiyas
Imam Al-Ghazali mendefinisikan sebagai usaha sungguh-sungguh dari seorang mujtahid dalam upaya mengetahui atau menetapkan hukum syari’at. Dalam batasan lain dikatakan:





Artinya:
“Ijtihad ialah mencurahkan seluruh kemampuan untuk menetapkan hukum syara’ dengan jalan istinbat (mengeluarkan hukum) dari kitab dalam sunnah”.


2.      Hukum Ijtihad
Menurut Syeikh Muhammad Khudlari bahwa hukum jtihad itu dapat dikelompokan menjadi:
a.       Wajib ‘ain, yaitu bagi seseorang yang ditanyai tentang sesuatu masalah, dan masalah itu akan hilang sebelum hukumnya diketahui. Atau ia sendiri juga ingin mengetahui hukumnya.
b.      Wajib kifayah, yaitu apabila seseorang ditanyai tentang sesuatu dan sesuatu itu tidak hilang sebelum diketahui hukumnya, sedang selain dia masih ada mujtahid lain. Apabila seorang mujtahid telah menyatakan dan menetapkan hukum sesuatu tersebut, maka  kewajiban mujtahid  yang lain telah gugur. Artinya ijtihad satu orang telah membebaskan beban kewajiban berijtihad. Namun bila tak seorang pun mujtahid melakukan ijtihadnya, maka dosalah semua mujtahid tersebut.
c.       Sunnah, yaitu ijtihad terhadap suatu masalah atau peristiwa yang belum terjadi.


3.      Peranan ijtihad
Banyaknya masalah yang secara jelas belum ditentukan hukumnya baik dalam Al-Qur’an maupun As-Sunnah. Karenanya, islam memberikan peluang kepada umatnya yang mempunyai kemampuan untuk melakukan ijtihad. Banyaknya Al-Qur’an maupun As-Sunnah yang memberikan isyarat mengenai ijtihad ini, antara lain:
Firman Allah swt:




Artinya:
“Sungguh, kami telah menurunkan kitab (Al-Qur’an) kepadamu (Muhammad) membawa kebenaran, agar engkau mengadili antara manusia dengan apa yang telah diajarkan Allah kepadamu” (QS. An-Nisa:105).

Dalam sebuah hadis, Nabi Muhammad saw menyatakan:





Artinya:
“Apabila seorang hakim menetapkan hukum dengan jalan ijtihad, kemudian ia benar, maka ia mendapatkan dua pahala. Namun  bila ia menetapkan hukum dengan jalan ijtihad dan salah, maka ia mendapatkan satu pahala”.

ijtihad sebagai mana yang telah dijelaskan diatas mempuyai peranan yang sangat penting dalam penetapan hukum suatu masalah yang tidak atau belum ada hukumnya secara rinci dalam Al-Qur’an maupun As-Sunah. Tanpa ada ijtihad banyak masalah yang dihadapi manusia tidak dapat dipecahkan karena tidak diketemukan hukum dalam kedua sumber pokok tersebut. Dengan ijtihad masalah-masalah yang belum ada hukumnya menjadi jelas status hukumnya. Seperti tentang niat sholat, bahwa para ulam sepakat bahwa sholat tanpa niat tidak sah.


4.      Syarat-syarat Bagi Mujtahid
Ijtihad itu tidak bisa dilakukan oleh setiap orang. Seseorang diperbolehkan melakukan ijtihad bila syarat-syarat ijtihad dipenuhi. Syarat-syarat tersebut terbagi menjadi tiga, yaitu syarat-syarat umum, khusus dan pelengkap.

a.       Syarat umum
1)      Balig
2)      Berakal sehat
3)      Memahami masalah
4)      Beriman

b.      Syarat khusus
1)      Mengetahui ayat-ayat Al-Qur’an yang behubungan dengan masalah yang dianalisis, yang dalam hal ini ayat-ayat ahkam, termasuk asbab nuzul, musyatarak, dan sebagainya.
2)      Mengetahui sunnah-sunnah Nabi yang berkaitan dengan masalah yang dianalisis, mengetahui asbab al-wurud, dan dapat mengemukakan hadis-hadis dari berbagai kitab hadis seperti Shahih Bukhari, Shahih Muslim, Sunan Abu Dawud, dan lain-lain.
3)      Mengetahui maksud dan rahasia hukum islam, yaitu kemaslahatan hidup manusia di dunia dan akherat.
4)      Mengetahui kaidah-kaidah kulliyah yaitu kaidah-kaidah yang dinisbatkan dari dalil-dalil syara’.
5)      Mengetahui kaidah-kaidah bahasa arab, yaitu nahwu, sharaf, balaghah, dan sebagainya.
6)      Mengetahui ilmu ushul fiqh, yang meliputi dalil-dalil syara’ dan cara-cara mengistinbatkan hukum.
7)      Mengetahui ilmu mantiq.
8)      Mengetahui penetapan hukum asal berdasarkan bara’ah ashliyah (semacam praduga tak bersalah, praduga mubah dan sebagainya).
9)      Mengetahui soal-soal ijma’,  sehingga hukum yang ditetapkan tidak bertentangan dengan ijma’.

c.       Syarat-syarat pelengkap
1)      Mengetahui bahwa tidak ada dalil qath’i yang berkaitan dengan masalah yang akan ditetapkan hukumnya.
2)      Mengetahui masalah-masalah yang diperselisihkan oleh para ulama dan yang akan mereka sepakati.
3)      Mengetahui bahwa hasil ijtihad itu tidak bersifat mutlak.

5.      Tingkat-tingkat Mujtahid
Tingkat ini sangat bergantung pada kemampuan, minat dan aktivitas yang ada pada mujtahid itu sendiri. Secara umum tingkat mujtahid ini dapat dikelompokkan menjadi:
a.       Mujtahid Muthlaq atau Mustaqil, yaitu seorang mijtahid yang telah memenuhi persyaratan ijtihad secara sempurna dan ia melakukan ijtihad dalam berbagai hukum syara’, dengan tanpa terikat kepada madzhab apapun. Bahkan justru dia menjadi pendiri madzhab, seperti Iman Hanafi, Syafi’I, Maliki, dan Ahmad bin Hambal. Nama lain bagi mujtahid ini adalah mujtahid fard (perorangan).
b.      Mujtahid Muntasib, yaitu mujtahid yang memiliki syarat-syarat ijtihad secara sempurna, tetapi dalam melakukan ijtihad dia dia menggabungkan diri kepada suatu madzhab dengan mengikuti jalan yang ditempuh oleh madzhab itu sekalipun demikian, pendapatnya tidak mesti sama dengan pendapat imam madzhab tersebut.
c.       Mujtahid Fil Madzahib, yaitu mujtahid yang dalam ijtihad mengikuti kaidah yang digunakan oleh imam madzhabnya, dan ia juga mengikuti imam madzhab dalam masalah furu’. Terhadap masalah-masalah yang belum ditetapkan hukumnya oleh imam madzhabnya, terkadang ia melakukan ijtihadnya sendiri.
d.      Mujtahid Murajjih, yaitu mujtahid yang dalam menetapkan hukum suatu masalah berdasarkan kepada hasil tarjih (memilih yang lebih kuat) dari pendapat pendapat imam-imam madzhabnya.

6.      Kedudukan Ijtihad
Ijtihad sangat diperlukan sepanjang masa karena manusia terus berkembang dan permasalahn pun semakin kompleks, sehingga perlu adanya tatanan hukum yang sesuai dengan perkembangan zaman tetapi tetap mengacu kepada Al-Qur’an dan As-Sunah. Tentang kedudukan hasil ijtihad dalam masalah fiqih terdapat dua golongan yaitu:
a.       Golongan pertama berpendapat bahwa tiap-tiap mujtahid adalah benar, dengan alasan karena masalah tersebut Allah swt, tidak menentukan hukum tertentu sebelum diijtihadkan.
b.      Golongan kedua berpendapat bahwa yang benar itu hanya satu, yaitu hasil ijtihad yang cocok jangkauannya dengan hukum.


B.     Ijma’
1.      Pengertian Ijma’
Ijma berarti sepakat, setuju atau sependapat. Sedangkan menurut istilah,yang dimaksud dengan ijma’ adalah:





Artinya:
“kesamaan pendapat para mujtahid umat Nabi Muhammad saw. Setelah beliau wafat, pada  suatu masa tertentu, tentang masalah tertentu”.

Dari pengertian di atas dapatlah diketahui, bahwa kesepakatan orang-orang yang bukan mujtahid, sekalipun mereka alim atau kesepakatn orang-orang yang semasa Nabi. Tidaklah disebut ijma’.
Para ulama berbeda pendapat mengenai jumlah mujtahid yang setuju atau sepakat senagai ijma’. Namun pendapat jumhur  ijma’ itu disyaratkan setuju paham mujtahid (ulama) yang pada masa itu. Tidak sah ijma’ jika salah seorang ulama dari mereka yang hidup pada masa itu menyalahinya. Selain itu, ijma’ ini harus berdasarkan kepada Al-Qur’an dan sunnah dan tidak boleh didasarkan kepada yang lain.
Contoh mengenai ijma’ antara lain ialah menjadikan sunnah sebagai salah satu sumber hukum Islam. Semua mujtahid  dan bahkan semua umat Islam sepakat (ijma’)  menetapkan sunnah sebagai salah satu sumber hukum islam. Contoh lain ialah tentang pembukuan Al-Qur’an yang dilakukan pada khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq.
Kesepakatan ulama ini dapat terjadi dalam tiga cara, yaitu:
a.       Dengan ucapan (qauli), yaitu kesepakatan berdasarkan pendapat yang dilakukan para mujtahid yang dilakukan salah dalam suatu masalah.
b.      Dengan perbuatan (fi’li), yaitu kesepakatan para mujtahid dalam mengamalkan sesuatu.
c.       Dengan diam ( sukut), yaitu apabila tidak ada di antara mujtahid yang membantah terhadap pendapat satu atau dua mujtahid lainnya dalam suatu masalah.

2.      Macam-macam ijma’
Dilihat dari sikap para mujtahid dalam mengemukakan pendapatnya, ijma terbagi dua, yaitu:
a.       Ijma’ sharih, yaitu: apabila semua mujtahid menyatakan persetujuannya atas hukum yang mereka putuskan, dengan lisan maupun tulisan.
b.      Ijma’ Syukuti. Yaitu: apabila sebagian mujtahid yang memutuskan hukum itu tidak semuanya menyatakan setuju baik dengan lisan maupun tulisan, melainkan mereka hanya diam.

Jumhur ulam a berpendapat bahwa ijma’ yang dijadikan landasan hukum adalah ijma’ sharih, sedangkan ijma’ sukuti tidak.
Sedangkan dalam tatanan ilmu yang lebih luas lagi, ijma’ dibagi dalam beberapa macam:
1)      Ijma’ Ummah, yaitu kesepakatan seluruh mujtahid dalam suatu masalah pada suatu masa tertentu.
2)      Ijma’ Shahaby, yaitu kesepakatan semua ulama sahabat dalam suatu masalah.
3)      Ijma’ Ahli Madinah, yaitu kesepakatan ulama-ulama madinah dalam suatu masalah.
4)      Ijma’ Ahli Kufah, yaitu kesepakatan ulam-ulama Kufah dalam suatu masalah.
5)      Ijma’ Khalifah yang Empat, yaitu kesepakatan empat khalifah (Abu Bakar, Umar, Utsaman, dan Ali) dalam suatu masalah.
6)      Ijma’ Syaikhani, yaitu kesepakatan pendapat antara Abu Bakar dan Umar bin Khathab dalam suatu masalah.
7)      Ijma’ Ahli Bait, yaitu kesepakatan pendapat dari ahli bait (keluarga Rasul)


3.      Kedudukan Ijma’ sebagai sumber hukum
Kebanyakan ulama menetapkan bahwa ijma’ dapat dijadikan hujjah dan sumber hukum Islam dalam menetapkan sesuatu hukum dengan nilai kehujjahan bersifat zhanny. Golongan Syi’ah memandang bahwa ijma’  ini sebagi hujjah yang harus diamalkan. Sedangkan ulama-ulama Hanafi dapat menerima ijma’ sebagai dasar hukum. Baik ijma’ qathiy maupun zhanny. Sedangkan ulama-ulama Syafi’iyah hanya memegangi ijma’ qath’iy dalam menetepkan hukum.
Dalil penetapan ijma’ sebagai sumber hukum  Islam ini antara lain: Firman Allah swt:




Artinya:
“wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul (Muhammad) dan ulil Amri (pemegang kekuasaan) diantara kamu”. (QS. An-Nisa’ 59)
Menurut sebagian ulama bahwa yang dimaksud dengan ulil amri, yaitu mujtahid. Sebagian ulama lain menafsirkannya dengan ulama.
Apabila mujtahid telah sepakat terhadap ketetapan hukum suatu peristiwa atau masalah, maka mereka wajib ditaati oleh umat.
Hukum yamg disepakati itu adalah hasil pendapat mujtahid umat Islam, karenanya pada hakikatnya hukum ini adalah hukum umat yang dibicarakan oleh mujtahid.
Ijma’ ini menepati tingkat ketiga sebagai hukum syar’i, yaitu setelah Al-Qur’an dan As-sunah.
Dari pemahaman seperti ini, pada dasarnya ijma’ dapat dijadikan alternative dalam menetapkan hukum sesuatu peristiwa yang di dalam Al-Qur’an dan As-sunah tidak ada atau kurang jelas hukum.


4.      Sebab-sebab dilakukan ijma’
Di antara sebab-sebab dilakukannya ijma’ adalah:
a.       Karena adanya persoalan-persoalan yang harus dicarikan status hukumnya, semantara di dalam nash Al-Qur’an dan As-sunah tidak ditemukan hukunya.
b.      Karena nash baik yang berupa Al-Qur’an  maupun As-sunah sudah tidak turun lagi atau telah berhenti.
c.       Karena pada masa itu jumlah mujtahid tidak terlalu banyak dan karenanya mereka mudah dikoordinir untuk melakukan kesepakatan dalam menentukan status hukum persoalan permasalahan yang timbul pada saat itu.
d.      Di antara para mujtahid belum timbul perpecahan dan kalaulah ada perselisihan pendapat masih mudah dipersatukan.


5.      Contoh-contoh ijma’
a.       Dikumpulakan dan dibukukannya nash Al-Qur’an sejak masa pemerintahan Abu Bakar Ash-shiddiq adalah bentuk kesepakatan dari para ulama zaman sahabat. Ide pengumpulan Al-Qur’an berasal dari Umar bin Khathab  tapi kemudian Abu Bakar Ash_Shiddiq mengumpulkan para ulama saat itu, sehingga terjadi perdebatan, karana hal itu tidak ditetapkan oleh Rasulullah saw. Tetapi akhirnya para ulama menyepakati untuk mengumpulkan dan membukukan Al-Qur’an.
b.      Penetapan tanggal satu Ramadhan atau tanggal satu Syawwal harus disepakati oleh para ulama di negerinya masing-masing berdasarkan ru’yatul hilal.
c.       Nenek mendapatkan harta warisan 1/6 dari cucu jika tidak terhijab. Ketetapan hukum ini berdasarkan ijma’ para sahabat, dan tidak ada yang membantahnya.



B.     ISTIHSAN

1.      Pengertian istihsan
Menurut bahasa istihsan berarti menganggap baik. Sedangkan menurut istilah ahli ushul yang dimaksud dengan  istihsan ialah berpindahnya seorang mujtahid dari hukum yang dikehendaki oleh qiyas jaly (jelas) kepada hukum yang dikehendaki oleh qiyas khafy (samar-samar), atau dari hukum kully (umum) kepada hukum yang bersifat khusus dan istina’I (pengecualian), karena ada dalil syara’ yang menghendaki perpindahan itu.

2.      Macam-macam istihasan
Dari pengertian di atas jelas bahwa istihsan itu ada dua, yaitu:
a.       Menguatkan Qiyas khafy atas Qiyas jaly dengan dalil. Misalnya, menurut ulama hanafiyah bahwa wanita yang sedang haid boleh membaca Al-Qur’an berdasarkan istihsan tetapi haram menurut Qiyas.
Qiyas: wanita yang sedang haid itu diqiyaskan kepada orang junub dengan illat sama-sama tidak suci. Orang junub haram membaca Al-Qur’an, maka orang haid juga haram membaca Al-Qur’an.
Istihsan: haid berbeda dengan junub, karena haid waktunya lama, maka wanita yang sedang haid diperbolehkan membaca Al-Qur’an, sebab bila tidak, maka karena haid yang panjang itu wanita tidak memperoleh pahala ibadah apa pun, sedang laki-laki dapat beribadah setiap saat.
b.      Pengecualian sebagai hukum kully dengan dalil. Atau meninggalkan hukum kully kepada hukum istihsan. Misalnya, jual beli salam (pesanan) berdasarkan istihsan diperolehkan. Menurut dalil kully, syara’ melarang jual beli yang barangnya tidak ada pada waktu akad. Alasan istihsan ialah manusia berhajat kepada akad seperti itu dan sudah menjadi kebiasaan mereka.

3.      Kedudukan Istihsan Sebagai Sumber Hukum Islam
Para ulama berbeda pendapat tentang kehujjahan istihsan:
a.       Jumhur ulama menolak berhujjah dengan istihsan, sebab berhujjah dengan istihsan berarti menetapkan hukum berdasarkan hawa nafsu.
b.      Golongan Hanafiyah membolehkan berhujjah dengan istihsan. Menurut mereka, berhujjah dengan istihsan hanyalah berdalilkan qiyas khafy yang kuatkan terhadap qiyas jally atau menguatkan satu qiyas terhadap qiyas lain yang bertentangan dengannya berdasarkan dalil yang menghendaki penguatan itu. Atau berdalilkan maslahat untuk mengecualikan sebagian dari hukum kully.
c.       Fuqaha Hanafiyah maupun Malikiyah baru mamakai istihsan apabila penerapan hukum berdasarkan qiyas jaly itu mengakibatkan kejanggalan dan ketidak adilan.

Letak perbedaan antara ulama yang pro dan yang kontra terhadap istihsan ialah pemahamannya terhadap ungkapan istilah tersebut. Bagi yang kontra terhadap istihsan menganggap bahwa istihsan itu adalah usaha untuk menetapkan hukum tanpa dasar yang kuat hanya semata-mata didasarkan kepada hawa nafsunya. Padahal sebenarnya yang dimaksud dengan istihsan itu adalah semata-mata untuk mendapatkan kemaslahatan dalam kehidupan manusia.



C.     Istishab

1.      Pengertian Istishab
Yang dimaksud dengan istishab ialah mengambil hukum yang telah ada atau ditetapkan pada masa lalu dan tetap dipakai hingga masa-masa selanjutnya sebelum ada hukum yang mengubahnya. Misalnya, seorang merasa telah berwudu, ia ragu-ragu apakah sudah batal atau belum?.  Dalam keadaan seperti ini, ia harus melihat hukum asalnya, apakah sudah berwudu atau belum?.  Bila belum, maka ketentuan sebaiknya adalah berpegang kepada “belum berwudu”, karena hukum yang asal adalah belum berwudu. Tetapi apabila ia merasa yakin sudah berwudu, lalu ia ragu kebatalannya, maka dihukumkan bahwa ia telah berwudu.

2.      Macam-macam Istishab
a.       Istishab kepada hukum akal dalam hukum ibadah atau baraatul ashliyah (kemurnian menurut aslinya), contoh:
1)      Setiap makanan dan minuman yang tidak ditetapkan oleh suatu dalil yang mengharamkannya adalah mubah hukumnya. Hal ini disebabkan Allah swt menciptakan segala sesuatu yang ada di bumi ini dimanfaatkan oleh seluruh manusia.
2)      Ketetapan tidak wajib menjalankan shalat fardhu lima kali dalam sehari semalam adalah berdasarkan istishab kepada hukum akal dengan baraatul ashliyah. Hal ini disebabkan tidak ada dalil yang menetapkannya.
3)      Istishab kepada hukum syara’ yang sudah ada dalilnya dan tidak ada suatu dalil yang mengubahnya.

3.      Kedudukan Istishab Sebagai Sumber Hukum Islam
Para ulama berbeda pendapat tentang kehujjahan istishab:
a.       Menjadikan istishab sebagai pegangan hukum sesuatu peristiwa yang belum ada hukumnya, baik dalam Al-Qur’an, As-Sunah maupun ijma’. Ulama yang termasuk kelompok ini adalah Syafi’iyah, Hambaliyah, Malikiyah, Dhahiriyah, dan sebagian kecil dari ulama Hanafiyah serta ulama Syi’ah. Dalil yang mereka jadikan alasan, antara lain:




Artinya:
“Sesungguhnya dugaan itu tidak sedikitpun berguna untuk melawan kebenaran. Sungguh, Allah Maha Mengetahui apa yang mereka kerjakan”. (QS. Yunus:36)

Berdasarkan kepada prinsip di atas, ulama ushul menetapkan kaidah-kaidah fiqih sebagai berikut:



Artinya:
“Pada dasarnya yang dijadikan dasar adalah sesuatu yang terjadi sebelumnya”.



Artinya:
“Apa yang diyakini adanya tidak hilang karena adanya keraguan”.



Artinya:
“Asal hukum sesuatu adalah boleh”.


b.      Menolak istishab sebagai pegangan dalam menetapkan hukum. Ulama golongan kedua ini kebanyakan adalah ulama Hanafiyah. Mereka menyatakan bahwa istishab dengan pengertian seperti di atas adalah tanpa dasar.



D.    Mashalih Al-Mursalah

1.      Pengertian Mashalih Mursalah
Mashalih bentuk jamak dari masalah, yang artinya kemaslahatan, kepentingan. Mursalah berarti terlepas. Dengan demikian maslahah al-mursalah berarti kemaslahatan yang terlepas. Maksudnya ialah penetapan hukum berdasarkan kepada kemaslahatan , yaitu manfaat bagi manusia atau menolak kemadharatan atas mereka, sedangkan dalam syara’(nash) belum atau tidak ada ketentuannya. Al-Khawarizmi menyatakan bahwa maslahah ialah menjaga tujuan syara’ dengan jalan menolak mafsadat (kerusakan) atau mudharat dari makhluk.
Contoh mashalih mursalah misalnya, dalam mensya’riatkan adanya penjara, diceritakan mata uang, ditetapkan pajak penghasilan dan yang diadakan  berdasarkan keperluan dalam kehidupan.

2.      Kedudukan Mashalih Mursalah Sebagai Sumber Hukum
Para ulama berbeda pendapat mengenai mashalih al-mursalah sebagai sumber hukum.
a.       Jumhur yang menolaknya sebagai sebagai sumber hukum, dengan alasan:
1)      Bahwa dengan nash-nash dan qiyas yang dibenarkan, syar’iat  senantiasa memperhatiakan kemaslahatan umat manusia. Tak ada satu pun kemaslahata manusia yang tidak diperhatikan oleh syari’at melalui petunjuknya.
2)      Pembinaan hukum Islam yang semata-mata didasarkan kepada maslahat yang tidak didukung dengan dalil-dalil dari nash berarti membuka pintu bagi keinginan hawa nafsu.
3)      Akan melahirkan perbedaan hukum akibat perbedaan wilayah/Negara, bahkan pendapat perorangan dalam satu perkara, karena perbedaan masyarakat tadi.

b.      Imam Malik memperbolehkan berpegang kepadanya secara mutlak. Namun menurut Imam Syafi’I boleh berpegang kepada mashalih al-mursalah apabila sesuai dengan dalil kully atau dalil juz’iy dari syara’. Pendapat kedua ini berdasarkan:
1)      Kemaslahatan manusia selalu berubah-ubah dan tidak ada habis-habisnya. Jika pembinaan hukum dibatasi hanya pada maslahat-maslahat yang ada petunjuknya dari Syar’I  (Allah), tentu tidak ada status hukumnya pada masa dab tempat yang berbeda-beda.
2)      Para sahabat dan tabi’in serta para mujtahid banyak menetapkan hukum untuk mewujudkan maslahat yang tidak ada petunjuknya dari syar’i. Misalnya, membuat penjara, mencetak uang, mengumpulkan dan membukukan ayat-ayat Al-Qur’an dan sebagainya.

3.      Syarat-syarat Berpegang Kepada Mashalil Al-Mursalah
a.       Maslahat itu harus jelas dan pasti dan bukan hanya berdasarkan kepada prasangka.
b.      Maslahat itu bersifat umum, bukan untuk kepentingan pribadi.
c.       Hukum yang ditetapkan berdasarkan maslahat itu tidak bertentangan dengan hukum atau prinsip yang telah ditetapkan dengan nash atau ijma’.



E.     Al-‘Urf

1.      Pengertian Al-‘Urf
Yang dimaksud dengan ‘urf  ialah segala sesuatu yang sudah dikenal dan dijalankan oleh suatu masyarakat secara turun-temurun dan sudah menjadi adat istiadat, baik berupa perkataan (qauly) maupun perbuatan (‘amaly). Ahli-ahli syar’I bahwa antara adat-istiadat dengan ‘urf  amalan itu tidak ada bedanya. Contoh ‘urf amali adalah jual beli yang dilakukan berdasarkan saling pengertian dan tidak mengucapkan sighat yang diucapkan. Contoh ‘urf qauly ialah orang telah mengetahui bahwa kata al-rajul itu untuk laki-laki bukan untuk perempuan.
Urf  berbeda dengan ijma’ karena ‘urf terjadi berdasarkan kebiasaan-kebiasaan yang dialami oleh orang-orang yang berbeda tingkatan mereka. Sedangkan ijma’ bentuk dari persesuaian pendapat khusus dari kalangan mujtahid. Dalam ‘ijma’ orang-orang umum tidak ikut dalam pembentukannya.

2.      Macam-macam Al-‘Urf
a.       Urf Shahih, yaitu segala sesuatu yang sudah dikenal umat manusia dan tidak  berlawanan dengan dalil syara, serta tidak menghalalkan yang haram dan tidak  pula menggugurkan kewajiban. Misalnya, orang telah mengerti bahwa orang yang melamar itu menyerahkan sesuatu kepada perempuan yang dilamar, berupa emas dan pakaian.’urf jenis ini diperbolehkan dan bahkan harus dilestarikan, sebab sesuatu yang baik itu pasti mendatangkan maslahat bagi manusia.
b.      ‘Urf Fasid ialah segala sesuatu yang sudah dikenal oleh manusia, tetapi berlawanandengan syara’, atau menghalalkan yang haram dan menggugurkan kewajiban. Misalnya orang yang mengetahuai  bahwa untuk menduduki suatu  jabatan itu dengan memberikan sogokan. ‘urf jenis ini hukumnya haram sebab bertentangan dengan ajaran agama. Dalam suatu kaidah dinyatakan yang artinya:
”tidak boleh taat kepada makhluk dalam bermaksiat kepada khalik”.

3.       Kedudukan ‘Urf Sebagai Sumber Hukum
Imam malik menggunakan ‘urf sebagai sumber hukum didasarkan atas amal ahli Madinah. Imam Abu Hanifah dengan para muridnya berbeda pendapat karena perbedaan ‘urf yang diterapkan. Begitu juga denagn Imam Syafi’I ketika berada dibaghdad, di waktu lain ia hidup di mesir. Kedua daerah tersebut jelas mempunyai ‘urf yang berbeda. Dalam faham Syafi’iyah, hukum-hukum yang dihasilkan di Baghdad dinamakan “Qauli Qadim” dan dimesir tersebut dengan “Qauli adid.
4.      Pandangan Ulama Mengenai’Urf Shahih dan Fasid
a.       ‘Urf Shahih, diperbolehkan dan perlu dilestarikan karena membawa kemaslahatan dan tidak bertentangan dengan syara’.
b.      ‘Urf Fasid, harus diberantas dan dihilangkan sebab bertentangan dengan dalil syara’ dan membawa dampak negatif bagi masyarakat.



F.      Syar’u Man Qablana

1.      Pengertian Syar’u Man Qablana
Yang dimaksud dengan syar’u man qablana ialah syari’at yang diturunkan kepada orang-orang sebelum kita, yaitu ajaran agama sebelum datangnya agama islam.
Pada dasarnya syari’at yang diturunkan itu untuk dijadikan pedoman hidup manusia, sejak dahulu hingga masa-masa selanjutnya bersumber dari satu turunan yaitu Allah swt. Namun karena masa turuna dan keadaan pemakainanya berbeda, maka ketentuan-ketentuan dalam syari’at itu juga mengalami penyesuaian. Karenanya di antara isi syari’at tersebut ada yang berlaku terus untuk umat selanjutnya dan ada yang tidak.
Allah swt berfirman:








Artinya:
“Dan kami telah menurunkan kitab (Al-Qur’an) kepadamu (Muhammad) dengan membawa kebenaran, yang membenarkan kitab-kitab yang diturunkan sebelumnya dan menjaga, maka putuskan perkara mereka menurut apa yang diturunkan Allah dan janganlah engkau mengikuti keinginan mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. Untuk setiap umat di antara kamu, kami berikan aturan dan jalan yang terang”.
(QS. Al-Maidah/5:48)

2.      Pemabagian dan Hukum Syar’u Man Qablana
Secara garis besar syari’at sebelum kita dapat dikelompokan menjadi tiga, yaitu:
a.       Apa yang disyari’atkan kepada mereka juga ditetapkan kepada kita umat Nabi Muhammad saw.
b.      Apa yang disyari’atkan kepada mereka tidak disyari’atkan lagi kepada kita.
c.       Apa yang disyari’atkan terdahulu itu dikisahkan dalam Al-Qur’an, akan tetapi, tidak dinyatakan secara jelas oleh syari’at Nabi Muhammad saw.
Menurut jumhur ulama yang terdiri dari jumhur ulama yang terdiri dari jumhur jumhur Hanafiyah, sebagian ulama Malikiyah dan Syafi’iyah, menetapkan bahwa hukum tersebut telah diberiakan kepada umat sekarang dengan kisahnya. Sementara sebagian yang lain tidak mewajibkan mengamalkannya. Sebab jika wajib, maka tentunya perintah tersebut akan dicantumkan secara jelas.
Contohnya adalah qishash penyiksaan semisal memotong jari orang harus dibalas dengan memotong jari pemotong. Begitulah syari’at dalam kitab Taurrat sebagaimana digambarkan dalam Al-Qur’an.



G.    Saddu Al-Dzari’ah

1.      Pengertian Saddu Al-Dzari’ah
Saddu Al-Dzari’ah berasal dara Bahasa Arab, Dzara’i jama’ dari kata ‘al-dzari’ah yang artinya jalan. Saddu al-dzari’ah berarti menutup jalan. Menurut istilah ulama ushul fiqih bahwa yang dimaksud dengan dzari’ah ialah:




Artinya:
“Masalah yang lahirnya boleh (mubah), tetapi dapat membuka jalan untuk melakukan perbuatan yang dilarang”.
Dengan demikian, sad al-dzari’ah berarti melarang perkara-perkara yang lahirnya boleh, karena ia membuka jalan dan menjadi pendorong kepada perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh agama. Seperti melarang perbuatan/ permainan judi tanpa uang.

2.      Kedudukan Saddu Al-Dzari’ah Sebagai Sumber Hukum
Para ulam berbeda pendapat mengenai kedudukan saddu al-dzari’ah ini sebagai sumber hukum:
a.      Menurut Imam Maliki dan para pengikutnya bahwa sad al-dzari’ah dapat dijadikan sumber hukum, sebab sekalipun mubah akan tetap, dapat mendorong dan membuka perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh agama. Yang pasti menjerumuskan kepada maksiat bukanlah termasuk saddu al-dzari’ah tetapi harus dijauhi, sebab perbuatan maksiat wajib ditinggalkan. Yang tidak pasti menjerumuskan kepada maksiat, itulah yang termasuk saddu al-dzari’ah.
b.      Munurut Imam Abu Hanifah dan Imam Syafi’I, bahwa sad al-dzari’ah tidak dapat dijadikan sumber hukum, karena sesuatu yang memnurut hukum asalnya mubah, tetapi diperlakukan sebagai yang mubah. Dalam sebuah hadits, Nabi saw mengatakan:



Artinya:
“Tinggalkan apa yang meragukan bagimu kepada apa yang tidak meragukan”.







H.    Mazhab Shahabi

1.      Pengertian Madzhab Shahabi
Yang dimaksud dengan madzhab shahabi ialah fatwa-fatwa para sahabat mengenai berbagai masalah yang dinyatakan setelah Rasulullah saw wafat. Fatwa-fatwa mereka itu ada yang telah dikumpulkan sebagaimana mereka mengumpulkan hadis-hadis Rasulullah saw. Fatwa-fatwa sahabat ini ada yang berdasarkan kepada sabda dan perbuatan Rasul dan ada juga yang berdasarkan ijtihad mereka, yang terbagi menjadi dua; ijtihad yang disepakati(ijma’) dan yang tidak.
Masal madzhab sahabat ini muncul, karena para tabi’in dan tabi’in tabi’in banyak yang membukukan dan meriwayatkan fatwa sahabat secara teratur, sehingga menyamai pembukuan sunah-sunah Rasul.
Sebagai contoh misalnya, perkataan ‘Aisyah ra:





Artinya:
“Kandungan itu tidak berdiam diri dalam perut ibunya lebih dari dua tahun sebatas bergesernya bayangan-bayangan benda yang ditancapkan pun tidak lebih dari dua tahun”. (QS. Ad-Daruquthniy)
            Menurut keterangan ‘Asiyah ra. Ini bahwa waktu mengandung maksimal ialah dua tahun tidak lebih sedikitpun. Pendapat ini tidak semata-mata hasil ijtihad atau penyelidikan yang dilakukan oleh ‘Aisyah ra. Dengan demikian keterangan ini adalah bewrsumber dari apa yang telah didengarkan dari Rasulullahsaw, meskipun secara lahiriah pendapat ini diungkapkan oleh ‘Aisyah ra.

2.      Kedudukan Madzhab Shabi Sebagai Sumber Hukum
Sesuai dengan sifat fatwa sahabat seperti disebutkan diatas, maka kedudukan madzhab sahabat juga bisa diklasifikasikan menjadi:
a.       Madzhab sahabat yang berdasarkan sabda dan perbuatan  serta ketetapan Rasul wajib ditaati, sebab hakikatnya ia merupakan sunah Rasul.
b.      Madzhab sahabat yang berdasarkan hasil ijtihad tetapi telah mereka sepakati (ijma sahaby) dapat dijadikan hujjah dan wajib ditaati, sebab mereka disamping dekat dengan Rasul, mereka mengetahui rahasia-rahasia  tasyri dan mengetahui perbedaan pendapat mengenai peristiwa yang sering terjadi.
c.       Madzhab sahabat yang tidak mereka sepakati tidak dijadika hujjah dan tidak wajib diikuti



I.       Dalalat Al-Iqtiran

1.      Pengertian Dalalat Al-iqtiran
Yang dimaksud dengan dalalat al-iqtiran ialah dalil-dalil yang menunjukan kesamaan hukum terhadap sesuatu yang dsisebutkan bersama dengan sesuatu yang lain.

2.      Kedudukan Dalalat Al-Iqtiran Sebagai Sumber Hukum
Para ulama berbeda pendapat menganai kedududkan dalalat al-iqtiran sebagai sumber hukum:
a.       Jumhur ulama berpendapat bahwa dalalat al-iqtiran tidak dapat dijadikan hujjah, sebab bersama dalam satu susunan tidak mesti bersama dalam hukum.
b.      Abu Yusuf dari golongan Hanafiyah, Ibnu Nashr dari golongan Malikiyah dan Ibnu Ibn Abu Hurairah dari kalangan Syafi’iyah mernyatakan dapat dijadikan hujjah. Alasan mereka bahwa sesungguhnya ‘athf itu menghendaki musyarakat;
Contoh dalalat al-iqtiran ialah firman Allah swt:



Artinya:
“Dan sempurnakan ibadah haji dan umrah karena Allah”.
(QS. Albaqarah 196)


Berdasarkan ayat ini, Imam Syafi’I menyamakan hukum umrah dengan haji, yaitu fardhu, sebab kedua ibadah ini disebutkan dalam satu ayat.

































BAB III
PENUTUPAN



A.    Simpulan

Ijtihad merupakan suatu usaha yang dilakukan secara sungguh-sungguh dalam mengambil hukum, dan mempunyai syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh seorang mujtahid, yaitu syarat umum, khusus dan syarat pelengkap. Kedudukan hasil ijtihad  dalam masalah fiqih terdapat 2 golongan
1.      Golongan pertama berpendapat bahwa tiap-tiap mujtahid adalah benar, dengtan alasan karena dalam masalah tersebut Allah swt tidak menentukan hukum tertentu sebelum diijtihadkan.
2.      Golongan kedua berpendapat bahwa yang benar itu hanya satu, yaitu hasil ijtihad yang cocok jangkauanya dengan hukum Allah.
Ijtihad mancakup beberapa bidang termasuk Akidah hukum mu’amalah, filsafat, politik, akidah, tasawuf dan falsafat.
Macam-macam method ijtihad yaitu: Istihsan, Istishab, Mashalih Al-Mursalah, Al-‘Urf, Syar’u Man Qablana, Saddu Al-Dzari’ah, Madzhab Shahabi, Dalalat Al-Iqtiran. Dan semua methode ini dapat dijadikan sumber hukum.  






B.     Saran
Alhamdulillah akhirnya penyusun dapat menyelesaikan makalah ini, segala koreksi dan saran demi kesempurnaan makalah ini penyusun harapkan sebagai bentuk kepedulian bagi yang ingin menambah khazanah, kekeliruan dan sebagai bahan untuk memperbaiki apa yang telah disusunnya. Sehingga mudah-mudahan untuk waktu kedepannya, penyusun bisa lebih baik.




DAFTAR PUSTAKA
·         Suparta,Dr. H. Mundsier. 2008. Pendidikan Agama Islam Fikih.   Semaranr : PT Karya Toha Putra.

 

2 komentar:

  1. artikel yang menarik...jangan lupa ya singgah di blog sya ya...duniapendidikan33.blogspot.com

    BalasHapus
  2. makalahnya sangat membantu saya... sesuai dengan mata kuliah saya..kalau kayak gini jadi tahu aku metode ijtihad matur nuhun, semoga bermanfaat

    BalasHapus