Mengingat kembali pelajaran MA di bangku kuliah... yu.......!!!!!
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Ijtihad
merupakan upaya untuk menggali suatu hukum yang sudah ada pada zaman Rasulullah
SAW. Hingga dalam perkembangan, ijtihad dilakukan oleh para sahabat, tabi’in
serta masa-masa selanjutnya hingga sekarang ini. Meskipun pada periode tertentu
apa yang kita kenal dengan masa taqlid, ijtihad tidak diperbolehkan, tetapi
pada masa periode tertentu pula (kebangkitan atau pembaharuan), ijtihad mulai
dibuka kembali. Karena tidak bisa dipungkiri, ijtahad adalah suatu keharusan,
untuk menaggapi tentang kehidupan yang semakin kompleks problematikanya.
Sekarang
banyak ditemui perbedaan-perbedaan madzhab dalam hukum islam yang
disebabkandari ijtihad. Misalnya bisa dipetakan islam kontemprorer seperti
islam liberal, fundamental, exstrimis, moderat, dan lain sebagainya. Semuanya
itu tidak lepas dari hasik ijtihad dan sudah tentu masing-masing mujtahid
berupaya untuk menemukan hukum yang terbaik. Justru dengan ijtihad, islam
menjadi luwes, dinamis, fleksibel, cocok dalam segala lapis waktu, tempat dan
kondisi. Dengan ijtihad pula, syari’at islam menjadi “tidak bisu”dalam
menghadapi problematika kehidupan yang semakin kompleks.
Adapun
methode ijtihad yang akan saya bahas dalam makalah ini:
1.
Istihsan
2.
Istishab
3.
Mashalih Al-Mursalah
4.
Al-Urf
5.
Syar’u Man Qablana
6.
Saddu Al-Dzari’ah
7.
Madzhab Shahabi
8.
Dalalat Al-Iqtiran
BAB II
PEMBAHASAN
A.
IJTIHAD
1.
Pengertian Ijtihad
Kata ijtihad berasal dari kata ijtihaada-yajtahidu-ijtahada
yang berarti:”bersungguh-sungguh, rajin, giat”.
Kemudian dikalangan ulama, perkataan ijtihad ini khusus digunakan
dalam pengertian usaha yang sungguh-sungguh dari seorang ahli hukum syari’at.
Jadi, dengan demikian, ijtihad adalah perbuatan menggali hukum syar’iyyah dari
dalil-dalilnya yang terperinci dalam syari’at. Orang yang melakukan ijtihad
disebut mujtahid.
Secara terminology, Ijtihad adalah pengerahan
segala kesanggupan seorang faqih (pakar hukum Islam) untuk memperoleh pengetahuan
tentang hukum sesuatu melalui dalil syara’ (agama), kenyataan menunjukkan bahwa
ijtihad dilakukan di berbagai bidang, yang mencakup aqidah,
mu’amalah, politik, tasawuf dan falsafat.
Adapun Ijtihad
menurut para ulama:
a.
Menurut Ibnu
Hajib
Ijtihad adalah pengerahan segenap kemampuan yang dilakukan oleh seorang ahli fiqih untuk mendapatkan suatu tahap dugaan kuat terhadap adanya sebuah ketetapan syari’ah.
Ijtihad adalah pengerahan segenap kemampuan yang dilakukan oleh seorang ahli fiqih untuk mendapatkan suatu tahap dugaan kuat terhadap adanya sebuah ketetapan syari’ah.
b.
Menurut
Dr.Wahbah Az-Zuahily
Beliau menyimpulkan bahwa ijtihad adalah upaya mengistimbatkan hukum - hukum syara’ dari dalil-dalilnya secara rinci.
Beliau menyimpulkan bahwa ijtihad adalah upaya mengistimbatkan hukum - hukum syara’ dari dalil-dalilnya secara rinci.
c.
Menurut imam Al-Ghazali
Bahwa ijtihad lebih umum dari qiyas karena kadang kadang ijtihad melakukan penalaran yang mendalam terhadap lafadz yang umum dan dalil-dalil selain qiyas
Imam Al-Ghazali mendefinisikan sebagai usaha sungguh-sungguh dari seorang mujtahid dalam upaya mengetahui atau menetapkan hukum syari’at. Dalam batasan lain dikatakan:
Bahwa ijtihad lebih umum dari qiyas karena kadang kadang ijtihad melakukan penalaran yang mendalam terhadap lafadz yang umum dan dalil-dalil selain qiyas
Imam Al-Ghazali mendefinisikan sebagai usaha sungguh-sungguh dari seorang mujtahid dalam upaya mengetahui atau menetapkan hukum syari’at. Dalam batasan lain dikatakan:
Artinya:
“Ijtihad ialah mencurahkan seluruh kemampuan untuk menetapkan hukum
syara’ dengan jalan istinbat (mengeluarkan hukum) dari kitab dalam sunnah”.
2.
Hukum Ijtihad
Menurut Syeikh Muhammad Khudlari bahwa hukum jtihad itu dapat
dikelompokan menjadi:
a.
Wajib ‘ain,
yaitu bagi seseorang yang ditanyai tentang sesuatu masalah, dan masalah itu
akan hilang sebelum hukumnya diketahui. Atau ia sendiri juga ingin mengetahui
hukumnya.
b.
Wajib kifayah,
yaitu apabila seseorang ditanyai tentang sesuatu dan sesuatu itu tidak hilang
sebelum diketahui hukumnya, sedang selain dia masih ada mujtahid lain. Apabila
seorang mujtahid telah menyatakan dan menetapkan hukum sesuatu tersebut,
maka kewajiban mujtahid yang lain telah gugur. Artinya ijtihad satu orang
telah membebaskan beban kewajiban berijtihad. Namun bila tak seorang pun
mujtahid melakukan ijtihadnya, maka dosalah semua mujtahid tersebut.
c.
Sunnah,
yaitu ijtihad terhadap suatu masalah atau peristiwa yang belum terjadi.
3.
Peranan ijtihad
Banyaknya masalah yang secara jelas belum ditentukan hukumnya baik
dalam Al-Qur’an maupun As-Sunnah. Karenanya, islam memberikan peluang kepada
umatnya yang mempunyai kemampuan untuk melakukan ijtihad. Banyaknya Al-Qur’an
maupun As-Sunnah yang memberikan isyarat mengenai ijtihad ini, antara lain:
Firman Allah swt:
Artinya:
“Sungguh, kami telah menurunkan
kitab (Al-Qur’an) kepadamu (Muhammad) membawa kebenaran, agar engkau mengadili
antara manusia dengan apa yang telah diajarkan Allah kepadamu” (QS.
An-Nisa:105).
Dalam sebuah hadis, Nabi Muhammad
saw menyatakan:
Artinya:
“Apabila seorang hakim menetapkan
hukum dengan jalan ijtihad, kemudian ia benar, maka ia mendapatkan dua pahala.
Namun bila ia menetapkan hukum dengan
jalan ijtihad dan salah, maka ia mendapatkan satu pahala”.
ijtihad sebagai mana yang telah dijelaskan diatas mempuyai peranan
yang sangat penting dalam penetapan hukum suatu masalah yang tidak atau belum
ada hukumnya secara rinci dalam Al-Qur’an maupun As-Sunah. Tanpa ada ijtihad
banyak masalah yang dihadapi manusia tidak dapat dipecahkan karena tidak
diketemukan hukum dalam kedua sumber pokok tersebut. Dengan ijtihad
masalah-masalah yang belum ada hukumnya menjadi jelas status hukumnya. Seperti
tentang niat sholat, bahwa para ulam sepakat bahwa sholat tanpa niat tidak sah.
4.
Syarat-syarat Bagi Mujtahid
Ijtihad
itu tidak bisa dilakukan oleh setiap orang. Seseorang diperbolehkan melakukan
ijtihad bila syarat-syarat ijtihad dipenuhi. Syarat-syarat tersebut terbagi
menjadi tiga, yaitu syarat-syarat umum, khusus dan pelengkap.
a.
Syarat umum
1)
Balig
2)
Berakal sehat
3)
Memahami masalah
4)
Beriman
b.
Syarat khusus
1)
Mengetahui ayat-ayat Al-Qur’an yang behubungan dengan masalah yang
dianalisis, yang dalam hal ini ayat-ayat ahkam, termasuk asbab nuzul,
musyatarak, dan sebagainya.
2)
Mengetahui sunnah-sunnah Nabi yang berkaitan dengan masalah yang
dianalisis, mengetahui asbab al-wurud, dan dapat mengemukakan hadis-hadis dari
berbagai kitab hadis seperti Shahih Bukhari, Shahih Muslim, Sunan Abu Dawud,
dan lain-lain.
3)
Mengetahui maksud dan rahasia hukum islam, yaitu kemaslahatan hidup
manusia di dunia dan akherat.
4)
Mengetahui kaidah-kaidah kulliyah yaitu kaidah-kaidah yang
dinisbatkan dari dalil-dalil syara’.
5)
Mengetahui kaidah-kaidah bahasa arab, yaitu nahwu, sharaf,
balaghah, dan sebagainya.
6)
Mengetahui ilmu ushul fiqh, yang meliputi dalil-dalil syara’ dan
cara-cara mengistinbatkan hukum.
7)
Mengetahui ilmu mantiq.
8)
Mengetahui penetapan hukum asal berdasarkan bara’ah ashliyah
(semacam praduga tak bersalah, praduga mubah dan sebagainya).
9)
Mengetahui soal-soal ijma’,
sehingga hukum yang ditetapkan tidak bertentangan dengan ijma’.
c.
Syarat-syarat pelengkap
1)
Mengetahui bahwa tidak ada dalil qath’i yang berkaitan dengan
masalah yang akan ditetapkan hukumnya.
2)
Mengetahui masalah-masalah yang diperselisihkan oleh para ulama dan
yang akan mereka sepakati.
3)
Mengetahui bahwa hasil ijtihad itu tidak bersifat mutlak.
5.
Tingkat-tingkat Mujtahid
Tingkat ini sangat bergantung pada kemampuan, minat dan aktivitas
yang ada pada mujtahid itu sendiri. Secara umum tingkat mujtahid ini dapat
dikelompokkan menjadi:
a.
Mujtahid Muthlaq atau Mustaqil, yaitu seorang mijtahid yang telah
memenuhi persyaratan ijtihad secara sempurna dan ia melakukan ijtihad dalam
berbagai hukum syara’, dengan tanpa terikat kepada madzhab apapun. Bahkan
justru dia menjadi pendiri madzhab, seperti Iman Hanafi, Syafi’I, Maliki, dan
Ahmad bin Hambal. Nama lain bagi mujtahid ini adalah mujtahid fard (perorangan).
b.
Mujtahid Muntasib, yaitu mujtahid yang memiliki syarat-syarat
ijtihad secara sempurna, tetapi dalam melakukan ijtihad dia dia menggabungkan
diri kepada suatu madzhab dengan mengikuti jalan yang ditempuh oleh madzhab itu
sekalipun demikian, pendapatnya tidak mesti sama dengan pendapat imam madzhab
tersebut.
c.
Mujtahid Fil Madzahib, yaitu mujtahid yang dalam ijtihad mengikuti
kaidah yang digunakan oleh imam madzhabnya, dan ia juga mengikuti imam madzhab
dalam masalah furu’. Terhadap masalah-masalah yang belum ditetapkan hukumnya
oleh imam madzhabnya, terkadang ia melakukan ijtihadnya sendiri.
d.
Mujtahid Murajjih, yaitu mujtahid yang dalam menetapkan hukum suatu
masalah berdasarkan kepada hasil tarjih (memilih yang lebih kuat) dari pendapat
pendapat imam-imam madzhabnya.
6.
Kedudukan Ijtihad
Ijtihad
sangat diperlukan sepanjang masa karena manusia terus berkembang dan permasalahn
pun semakin kompleks, sehingga perlu adanya tatanan hukum yang sesuai dengan
perkembangan zaman tetapi tetap mengacu kepada Al-Qur’an dan As-Sunah. Tentang
kedudukan hasil ijtihad dalam masalah fiqih terdapat dua golongan yaitu:
a.
Golongan pertama berpendapat bahwa tiap-tiap mujtahid adalah benar,
dengan alasan karena masalah tersebut Allah swt, tidak menentukan hukum
tertentu sebelum diijtihadkan.
b.
Golongan kedua berpendapat bahwa yang benar itu hanya satu, yaitu
hasil ijtihad yang cocok jangkauannya dengan hukum.
B.
Ijma’
1.
Pengertian Ijma’
Ijma berarti sepakat, setuju atau sependapat. Sedangkan menurut
istilah,yang dimaksud dengan ijma’ adalah:
Artinya:
“kesamaan pendapat para mujtahid umat Nabi Muhammad saw. Setelah
beliau wafat, pada suatu masa tertentu,
tentang masalah tertentu”.
Dari pengertian di atas dapatlah diketahui, bahwa kesepakatan
orang-orang yang bukan mujtahid, sekalipun mereka alim atau kesepakatn
orang-orang yang semasa Nabi. Tidaklah disebut ijma’.
Para ulama berbeda pendapat mengenai jumlah mujtahid yang setuju
atau sepakat senagai ijma’. Namun pendapat jumhur ijma’ itu disyaratkan setuju paham mujtahid
(ulama) yang pada masa itu. Tidak sah ijma’ jika salah seorang ulama dari
mereka yang hidup pada masa itu menyalahinya. Selain itu, ijma’ ini harus
berdasarkan kepada Al-Qur’an dan sunnah dan tidak boleh didasarkan kepada yang
lain.
Contoh mengenai ijma’ antara lain ialah menjadikan sunnah sebagai
salah satu sumber hukum Islam. Semua mujtahid
dan bahkan semua umat Islam sepakat (ijma’) menetapkan sunnah sebagai salah satu sumber
hukum islam. Contoh lain ialah tentang pembukuan Al-Qur’an yang dilakukan pada
khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq.
Kesepakatan ulama ini dapat terjadi dalam tiga cara, yaitu:
a.
Dengan ucapan (qauli), yaitu kesepakatan berdasarkan pendapat yang
dilakukan para mujtahid yang dilakukan salah dalam suatu masalah.
b.
Dengan perbuatan (fi’li), yaitu kesepakatan para mujtahid dalam
mengamalkan sesuatu.
c.
Dengan diam ( sukut), yaitu apabila tidak ada di antara mujtahid yang
membantah terhadap pendapat satu atau dua mujtahid lainnya dalam suatu masalah.
2.
Macam-macam ijma’
Dilihat dari sikap para mujtahid dalam mengemukakan pendapatnya,
ijma terbagi dua, yaitu:
a.
Ijma’ sharih, yaitu: apabila semua mujtahid menyatakan persetujuannya
atas hukum yang mereka putuskan, dengan lisan maupun tulisan.
b.
Ijma’ Syukuti. Yaitu: apabila sebagian mujtahid yang memutuskan
hukum itu tidak semuanya menyatakan setuju baik dengan lisan maupun tulisan,
melainkan mereka hanya diam.
Jumhur ulam a berpendapat bahwa ijma’ yang dijadikan landasan hukum
adalah ijma’ sharih, sedangkan ijma’ sukuti tidak.
Sedangkan dalam tatanan ilmu yang lebih luas lagi, ijma’ dibagi
dalam beberapa macam:
1)
Ijma’ Ummah, yaitu kesepakatan seluruh mujtahid dalam suatu masalah
pada suatu masa tertentu.
2)
Ijma’ Shahaby, yaitu kesepakatan semua ulama sahabat dalam suatu
masalah.
3)
Ijma’ Ahli Madinah, yaitu kesepakatan ulama-ulama madinah dalam
suatu masalah.
4)
Ijma’ Ahli Kufah, yaitu kesepakatan ulam-ulama Kufah dalam suatu
masalah.
5)
Ijma’ Khalifah yang Empat, yaitu kesepakatan empat khalifah (Abu
Bakar, Umar, Utsaman, dan Ali) dalam suatu masalah.
6)
Ijma’ Syaikhani, yaitu kesepakatan pendapat antara Abu Bakar dan
Umar bin Khathab dalam suatu masalah.
7)
Ijma’ Ahli Bait, yaitu kesepakatan pendapat dari ahli bait
(keluarga Rasul)
3.
Kedudukan Ijma’ sebagai sumber hukum
Kebanyakan
ulama menetapkan bahwa ijma’ dapat dijadikan hujjah dan sumber hukum Islam
dalam menetapkan sesuatu hukum dengan nilai kehujjahan bersifat zhanny.
Golongan Syi’ah memandang bahwa ijma’
ini sebagi hujjah yang harus diamalkan. Sedangkan ulama-ulama Hanafi
dapat menerima ijma’ sebagai dasar hukum. Baik ijma’ qathiy maupun zhanny.
Sedangkan ulama-ulama Syafi’iyah hanya memegangi ijma’ qath’iy dalam menetepkan
hukum.
Dalil
penetapan ijma’ sebagai sumber hukum
Islam ini antara lain: Firman Allah swt:
Artinya:
“wahai
orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul (Muhammad) dan ulil
Amri (pemegang kekuasaan) diantara kamu”. (QS. An-Nisa’ 59)
Menurut
sebagian ulama bahwa yang dimaksud dengan ulil amri, yaitu mujtahid. Sebagian
ulama lain menafsirkannya dengan ulama.
Apabila
mujtahid telah sepakat terhadap ketetapan hukum suatu peristiwa atau masalah,
maka mereka wajib ditaati oleh umat.
Hukum
yamg disepakati itu adalah hasil pendapat mujtahid umat Islam, karenanya pada
hakikatnya hukum ini adalah hukum umat yang dibicarakan oleh mujtahid.
Ijma’
ini menepati tingkat ketiga sebagai hukum syar’i, yaitu setelah Al-Qur’an dan
As-sunah.
Dari
pemahaman seperti ini, pada dasarnya ijma’ dapat dijadikan alternative dalam
menetapkan hukum sesuatu peristiwa yang di dalam Al-Qur’an dan As-sunah tidak
ada atau kurang jelas hukum.
4.
Sebab-sebab dilakukan ijma’
Di
antara sebab-sebab dilakukannya ijma’ adalah:
a.
Karena adanya persoalan-persoalan yang harus dicarikan status
hukumnya, semantara di dalam nash Al-Qur’an dan As-sunah tidak ditemukan
hukunya.
b.
Karena nash baik yang berupa Al-Qur’an maupun As-sunah sudah tidak turun lagi atau
telah berhenti.
c.
Karena pada masa itu jumlah mujtahid tidak terlalu banyak dan
karenanya mereka mudah dikoordinir untuk melakukan kesepakatan dalam menentukan
status hukum persoalan permasalahan yang timbul pada saat itu.
d.
Di antara para mujtahid belum timbul perpecahan dan kalaulah ada
perselisihan pendapat masih mudah dipersatukan.
5.
Contoh-contoh ijma’
a.
Dikumpulakan dan dibukukannya nash Al-Qur’an sejak masa
pemerintahan Abu Bakar Ash-shiddiq adalah bentuk kesepakatan dari para ulama
zaman sahabat. Ide pengumpulan Al-Qur’an berasal dari Umar bin Khathab tapi kemudian Abu Bakar Ash_Shiddiq
mengumpulkan para ulama saat itu, sehingga terjadi perdebatan, karana hal itu
tidak ditetapkan oleh Rasulullah saw. Tetapi akhirnya para ulama menyepakati
untuk mengumpulkan dan membukukan Al-Qur’an.
b.
Penetapan tanggal satu Ramadhan atau tanggal satu Syawwal harus
disepakati oleh para ulama di negerinya masing-masing berdasarkan ru’yatul
hilal.
c.
Nenek mendapatkan harta warisan 1/6 dari cucu jika tidak terhijab.
Ketetapan hukum ini berdasarkan ijma’ para sahabat, dan tidak ada yang
membantahnya.
B.
ISTIHSAN
1.
Pengertian istihsan
Menurut bahasa istihsan berarti menganggap baik. Sedangkan
menurut istilah ahli ushul yang dimaksud dengan
istihsan ialah berpindahnya seorang mujtahid dari hukum yang
dikehendaki oleh qiyas jaly (jelas) kepada hukum yang dikehendaki oleh qiyas
khafy (samar-samar), atau dari hukum kully (umum) kepada hukum yang
bersifat khusus dan istina’I (pengecualian), karena ada dalil syara’
yang menghendaki perpindahan itu.
2.
Macam-macam istihasan
Dari
pengertian di atas jelas bahwa istihsan itu ada dua, yaitu:
a.
Menguatkan Qiyas khafy atas Qiyas jaly dengan dalil. Misalnya,
menurut ulama hanafiyah bahwa wanita yang sedang haid boleh membaca Al-Qur’an
berdasarkan istihsan tetapi haram menurut Qiyas.
Qiyas: wanita yang sedang haid itu diqiyaskan kepada orang junub dengan
illat sama-sama tidak suci. Orang junub haram membaca Al-Qur’an, maka orang
haid juga haram membaca Al-Qur’an.
Istihsan: haid berbeda dengan junub, karena haid waktunya lama, maka wanita
yang sedang haid diperbolehkan membaca Al-Qur’an, sebab bila tidak, maka karena
haid yang panjang itu wanita tidak memperoleh pahala ibadah apa pun, sedang
laki-laki dapat beribadah setiap saat.
b.
Pengecualian sebagai hukum kully dengan dalil. Atau
meninggalkan hukum kully kepada hukum istihsan. Misalnya, jual beli
salam (pesanan) berdasarkan istihsan diperolehkan. Menurut dalil kully,
syara’ melarang jual beli yang barangnya tidak ada pada waktu akad. Alasan
istihsan ialah manusia berhajat kepada akad seperti itu dan sudah menjadi
kebiasaan mereka.
3.
Kedudukan Istihsan Sebagai Sumber Hukum Islam
Para ulama berbeda pendapat tentang kehujjahan istihsan:
a.
Jumhur ulama menolak berhujjah dengan istihsan, sebab berhujjah dengan
istihsan berarti menetapkan hukum berdasarkan hawa nafsu.
b.
Golongan Hanafiyah membolehkan berhujjah dengan istihsan. Menurut
mereka, berhujjah dengan istihsan hanyalah berdalilkan qiyas khafy yang kuatkan
terhadap qiyas jally atau menguatkan satu qiyas terhadap qiyas lain yang
bertentangan dengannya berdasarkan dalil yang menghendaki penguatan itu. Atau
berdalilkan maslahat untuk mengecualikan sebagian dari hukum kully.
c.
Fuqaha Hanafiyah maupun Malikiyah baru mamakai istihsan apabila
penerapan hukum berdasarkan qiyas jaly itu mengakibatkan kejanggalan dan
ketidak adilan.
Letak
perbedaan antara ulama yang pro dan yang kontra terhadap istihsan ialah
pemahamannya terhadap ungkapan istilah tersebut. Bagi yang kontra terhadap
istihsan menganggap bahwa istihsan itu adalah usaha untuk menetapkan hukum
tanpa dasar yang kuat hanya semata-mata didasarkan kepada hawa nafsunya.
Padahal sebenarnya yang dimaksud dengan istihsan itu adalah semata-mata untuk
mendapatkan kemaslahatan dalam kehidupan manusia.
C.
Istishab
1.
Pengertian Istishab
Yang dimaksud dengan istishab ialah mengambil hukum yang telah ada
atau ditetapkan pada masa lalu dan tetap dipakai hingga masa-masa selanjutnya
sebelum ada hukum yang mengubahnya. Misalnya, seorang merasa telah berwudu, ia
ragu-ragu apakah sudah batal atau belum?. Dalam keadaan seperti ini, ia harus melihat
hukum asalnya, apakah sudah berwudu atau belum?. Bila belum, maka ketentuan sebaiknya adalah
berpegang kepada “belum berwudu”, karena hukum yang asal adalah belum berwudu.
Tetapi apabila ia merasa yakin sudah berwudu, lalu ia ragu kebatalannya, maka
dihukumkan bahwa ia telah berwudu.
2.
Macam-macam Istishab
a.
Istishab kepada hukum akal dalam hukum ibadah atau baraatul ashliyah
(kemurnian menurut aslinya), contoh:
1)
Setiap makanan dan minuman yang tidak ditetapkan oleh suatu dalil
yang mengharamkannya adalah mubah hukumnya. Hal ini disebabkan Allah swt menciptakan
segala sesuatu yang ada di bumi ini dimanfaatkan oleh seluruh manusia.
2)
Ketetapan tidak wajib menjalankan shalat fardhu lima kali dalam
sehari semalam adalah berdasarkan istishab kepada hukum akal dengan baraatul
ashliyah. Hal ini disebabkan tidak ada dalil yang menetapkannya.
3)
Istishab kepada hukum syara’ yang sudah ada dalilnya dan tidak ada
suatu dalil yang mengubahnya.
3.
Kedudukan Istishab Sebagai Sumber Hukum Islam
Para ulama berbeda pendapat tentang kehujjahan istishab:
a.
Menjadikan istishab sebagai pegangan hukum sesuatu peristiwa yang
belum ada hukumnya, baik dalam Al-Qur’an, As-Sunah maupun ijma’. Ulama yang
termasuk kelompok ini adalah Syafi’iyah, Hambaliyah, Malikiyah, Dhahiriyah, dan
sebagian kecil dari ulama Hanafiyah serta ulama Syi’ah. Dalil yang mereka
jadikan alasan, antara lain:
Artinya:
“Sesungguhnya
dugaan itu tidak sedikitpun berguna untuk melawan kebenaran. Sungguh, Allah
Maha Mengetahui apa yang mereka kerjakan”. (QS. Yunus:36)
Berdasarkan
kepada prinsip di atas, ulama ushul menetapkan kaidah-kaidah fiqih sebagai
berikut:
Artinya:
“Pada
dasarnya yang dijadikan dasar adalah sesuatu yang terjadi sebelumnya”.
Artinya:
“Apa
yang diyakini adanya tidak hilang karena adanya keraguan”.
Artinya:
“Asal
hukum sesuatu adalah boleh”.
b.
Menolak istishab sebagai pegangan dalam menetapkan hukum. Ulama
golongan kedua ini kebanyakan adalah ulama Hanafiyah. Mereka menyatakan bahwa
istishab dengan pengertian seperti di atas adalah tanpa dasar.
D.
Mashalih Al-Mursalah
1.
Pengertian Mashalih Mursalah
Mashalih bentuk jamak dari masalah, yang artinya kemaslahatan,
kepentingan. Mursalah berarti terlepas. Dengan demikian maslahah al-mursalah
berarti kemaslahatan yang terlepas. Maksudnya ialah penetapan hukum berdasarkan
kepada kemaslahatan , yaitu manfaat bagi manusia atau menolak kemadharatan atas
mereka, sedangkan dalam syara’(nash) belum atau tidak ada ketentuannya.
Al-Khawarizmi menyatakan bahwa maslahah ialah menjaga tujuan syara’ dengan
jalan menolak mafsadat (kerusakan) atau mudharat dari makhluk.
Contoh
mashalih mursalah misalnya, dalam mensya’riatkan adanya penjara, diceritakan
mata uang, ditetapkan pajak penghasilan dan yang diadakan berdasarkan keperluan dalam kehidupan.
2.
Kedudukan Mashalih Mursalah Sebagai Sumber Hukum
Para
ulama berbeda pendapat mengenai mashalih al-mursalah sebagai sumber hukum.
a.
Jumhur yang menolaknya sebagai sebagai sumber hukum, dengan alasan:
1)
Bahwa dengan nash-nash dan qiyas yang dibenarkan, syar’iat senantiasa memperhatiakan kemaslahatan umat
manusia. Tak ada satu pun kemaslahata manusia yang tidak diperhatikan oleh
syari’at melalui petunjuknya.
2)
Pembinaan hukum Islam yang semata-mata didasarkan kepada maslahat
yang tidak didukung dengan dalil-dalil dari nash berarti membuka pintu bagi
keinginan hawa nafsu.
3)
Akan melahirkan perbedaan hukum akibat perbedaan wilayah/Negara,
bahkan pendapat perorangan dalam satu perkara, karena perbedaan masyarakat tadi.
b.
Imam Malik memperbolehkan berpegang kepadanya secara mutlak. Namun
menurut Imam Syafi’I boleh berpegang kepada mashalih al-mursalah apabila
sesuai dengan dalil kully atau dalil juz’iy dari syara’. Pendapat kedua ini berdasarkan:
1)
Kemaslahatan manusia selalu berubah-ubah dan tidak ada
habis-habisnya. Jika pembinaan hukum dibatasi hanya pada maslahat-maslahat yang
ada petunjuknya dari Syar’I (Allah),
tentu tidak ada status hukumnya pada masa dab tempat yang berbeda-beda.
2)
Para sahabat dan tabi’in serta para mujtahid banyak menetapkan
hukum untuk mewujudkan maslahat yang tidak ada petunjuknya dari syar’i.
Misalnya, membuat penjara, mencetak uang, mengumpulkan dan membukukan ayat-ayat
Al-Qur’an dan sebagainya.
3.
Syarat-syarat Berpegang Kepada Mashalil Al-Mursalah
a.
Maslahat itu harus jelas dan pasti dan bukan hanya berdasarkan
kepada prasangka.
b.
Maslahat itu bersifat umum, bukan untuk kepentingan pribadi.
c.
Hukum yang ditetapkan berdasarkan maslahat itu tidak bertentangan
dengan hukum atau prinsip yang telah ditetapkan dengan nash atau ijma’.
E.
Al-‘Urf
1.
Pengertian Al-‘Urf
Yang dimaksud
dengan ‘urf ialah segala sesuatu
yang sudah dikenal dan dijalankan oleh suatu masyarakat secara turun-temurun
dan sudah menjadi adat istiadat, baik berupa perkataan (qauly) maupun perbuatan
(‘amaly). Ahli-ahli syar’I bahwa antara adat-istiadat dengan ‘urf amalan itu tidak ada bedanya. Contoh ‘urf
amali adalah jual beli yang dilakukan berdasarkan saling pengertian dan tidak
mengucapkan sighat yang diucapkan. Contoh ‘urf qauly ialah orang telah
mengetahui bahwa kata al-rajul itu untuk laki-laki bukan untuk perempuan.
Urf berbeda dengan ijma’ karena ‘urf terjadi
berdasarkan kebiasaan-kebiasaan yang dialami oleh orang-orang yang berbeda
tingkatan mereka. Sedangkan ijma’ bentuk dari persesuaian pendapat khusus dari
kalangan mujtahid. Dalam ‘ijma’ orang-orang umum tidak ikut dalam
pembentukannya.
2.
Macam-macam Al-‘Urf
a.
‘Urf Shahih,
yaitu segala sesuatu yang sudah dikenal umat manusia dan
tidak berlawanan dengan dalil syara, serta tidak menghalalkan yang
haram dan tidak pula menggugurkan kewajiban. Misalnya, orang telah
mengerti bahwa orang yang melamar itu menyerahkan sesuatu kepada perempuan yang
dilamar, berupa emas dan pakaian.’urf jenis ini diperbolehkan dan bahkan harus
dilestarikan, sebab sesuatu yang baik itu pasti mendatangkan maslahat bagi
manusia.
b.
‘Urf
Fasid ialah segala
sesuatu yang sudah dikenal oleh manusia, tetapi berlawanandengan syara’, atau menghalalkan yang haram dan
menggugurkan kewajiban. Misalnya orang yang mengetahuai bahwa untuk menduduki suatu jabatan itu dengan memberikan sogokan. ‘urf
jenis ini hukumnya haram sebab bertentangan dengan ajaran agama. Dalam suatu
kaidah dinyatakan yang artinya:
”tidak boleh taat kepada makhluk dalam bermaksiat kepada
khalik”.
3.
Kedudukan ‘Urf Sebagai
Sumber Hukum
Imam
malik menggunakan ‘urf sebagai sumber hukum didasarkan atas amal ahli Madinah.
Imam Abu Hanifah dengan para muridnya berbeda pendapat karena perbedaan ‘urf
yang diterapkan. Begitu juga denagn Imam Syafi’I ketika berada dibaghdad, di
waktu lain ia hidup di mesir. Kedua daerah tersebut jelas mempunyai ‘urf yang
berbeda. Dalam faham Syafi’iyah, hukum-hukum yang dihasilkan di Baghdad
dinamakan “Qauli Qadim” dan dimesir tersebut dengan “Qauli adid.
4.
Pandangan Ulama
Mengenai’Urf Shahih dan Fasid
a.
‘Urf Shahih,
diperbolehkan dan perlu dilestarikan karena membawa kemaslahatan dan tidak
bertentangan dengan syara’.
b.
‘Urf Fasid,
harus diberantas dan dihilangkan sebab bertentangan dengan dalil syara’ dan
membawa dampak negatif bagi masyarakat.
F.
Syar’u Man Qablana
1.
Pengertian Syar’u Man Qablana
Yang dimaksud
dengan syar’u man qablana ialah syari’at yang diturunkan kepada
orang-orang sebelum kita, yaitu ajaran agama sebelum datangnya agama islam.
Pada
dasarnya syari’at yang diturunkan itu untuk dijadikan pedoman hidup manusia,
sejak dahulu hingga masa-masa selanjutnya bersumber dari satu turunan yaitu
Allah swt. Namun karena masa turuna dan keadaan pemakainanya berbeda, maka
ketentuan-ketentuan dalam syari’at itu juga mengalami penyesuaian. Karenanya di
antara isi syari’at tersebut ada yang berlaku terus untuk umat selanjutnya dan
ada yang tidak.
Allah swt berfirman:
Artinya:
“Dan
kami telah menurunkan kitab (Al-Qur’an) kepadamu (Muhammad) dengan membawa
kebenaran, yang membenarkan kitab-kitab yang diturunkan sebelumnya dan menjaga,
maka putuskan perkara mereka menurut apa yang diturunkan Allah dan janganlah
engkau mengikuti keinginan mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah
datang kepadamu. Untuk setiap umat di antara kamu, kami berikan aturan dan jalan
yang terang”.
(QS.
Al-Maidah/5:48)
2.
Pemabagian dan Hukum Syar’u Man Qablana
Secara
garis besar syari’at sebelum kita dapat dikelompokan menjadi tiga, yaitu:
a.
Apa yang disyari’atkan kepada mereka juga ditetapkan kepada kita
umat Nabi Muhammad saw.
b.
Apa yang disyari’atkan kepada mereka tidak disyari’atkan lagi
kepada kita.
c.
Apa yang disyari’atkan terdahulu itu dikisahkan dalam Al-Qur’an,
akan tetapi, tidak dinyatakan secara jelas oleh syari’at Nabi Muhammad saw.
Menurut jumhur ulama yang terdiri dari jumhur ulama yang terdiri
dari jumhur jumhur Hanafiyah, sebagian ulama Malikiyah dan Syafi’iyah,
menetapkan bahwa hukum tersebut telah diberiakan kepada umat sekarang dengan
kisahnya. Sementara sebagian yang lain tidak mewajibkan mengamalkannya. Sebab
jika wajib, maka tentunya perintah tersebut akan dicantumkan secara jelas.
Contohnya adalah qishash penyiksaan semisal memotong jari orang
harus dibalas dengan memotong jari pemotong. Begitulah syari’at dalam kitab
Taurrat sebagaimana digambarkan dalam Al-Qur’an.
G.
Saddu Al-Dzari’ah
1.
Pengertian Saddu Al-Dzari’ah
Saddu
Al-Dzari’ah berasal dara Bahasa Arab, Dzara’i jama’ dari kata ‘al-dzari’ah
yang artinya jalan. Saddu al-dzari’ah berarti menutup jalan. Menurut
istilah ulama ushul fiqih bahwa yang dimaksud dengan dzari’ah ialah:
Artinya:
“Masalah yang lahirnya boleh
(mubah), tetapi dapat membuka jalan untuk melakukan perbuatan yang dilarang”.
Dengan demikian, sad al-dzari’ah berarti melarang
perkara-perkara yang lahirnya boleh, karena ia membuka jalan dan menjadi
pendorong kepada perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh agama. Seperti melarang
perbuatan/ permainan judi tanpa uang.
2.
Kedudukan Saddu Al-Dzari’ah Sebagai Sumber Hukum
Para ulam berbeda pendapat mengenai
kedudukan saddu al-dzari’ah ini sebagai sumber hukum:
a.
Menurut Imam Maliki dan para
pengikutnya bahwa sad al-dzari’ah dapat dijadikan sumber hukum, sebab
sekalipun mubah akan tetap, dapat mendorong dan membuka perbuatan-perbuatan yang
dilarang oleh agama. Yang pasti menjerumuskan kepada maksiat bukanlah termasuk
saddu al-dzari’ah tetapi harus dijauhi, sebab perbuatan maksiat wajib
ditinggalkan. Yang tidak pasti menjerumuskan kepada maksiat, itulah yang
termasuk saddu al-dzari’ah.
b.
Munurut Imam Abu Hanifah dan Imam
Syafi’I, bahwa sad al-dzari’ah tidak dapat dijadikan sumber hukum, karena
sesuatu yang memnurut hukum asalnya mubah, tetapi diperlakukan sebagai yang
mubah. Dalam sebuah hadits, Nabi saw mengatakan:
Artinya:
“Tinggalkan apa
yang meragukan bagimu kepada apa yang tidak meragukan”.
H.
Mazhab Shahabi
1.
Pengertian Madzhab Shahabi
Yang
dimaksud dengan madzhab shahabi ialah fatwa-fatwa para sahabat mengenai
berbagai masalah yang dinyatakan setelah Rasulullah saw wafat. Fatwa-fatwa
mereka itu ada yang telah dikumpulkan sebagaimana mereka mengumpulkan
hadis-hadis Rasulullah saw. Fatwa-fatwa sahabat ini ada yang berdasarkan kepada
sabda dan perbuatan Rasul dan ada juga yang berdasarkan ijtihad mereka, yang
terbagi menjadi dua; ijtihad yang disepakati(ijma’) dan yang tidak.
Masal
madzhab sahabat ini muncul, karena para tabi’in dan tabi’in tabi’in banyak yang
membukukan dan meriwayatkan fatwa sahabat secara teratur, sehingga menyamai
pembukuan sunah-sunah Rasul.
Sebagai
contoh misalnya, perkataan ‘Aisyah ra:
Artinya:
“Kandungan
itu tidak berdiam diri dalam perut ibunya lebih dari dua tahun sebatas
bergesernya bayangan-bayangan benda yang ditancapkan pun tidak lebih dari dua
tahun”. (QS. Ad-Daruquthniy)
Menurut keterangan
‘Asiyah ra. Ini bahwa waktu mengandung maksimal ialah dua tahun tidak lebih
sedikitpun. Pendapat ini tidak semata-mata hasil ijtihad atau penyelidikan yang
dilakukan oleh ‘Aisyah ra. Dengan demikian keterangan ini adalah bewrsumber
dari apa yang telah didengarkan dari Rasulullahsaw, meskipun secara lahiriah
pendapat ini diungkapkan oleh ‘Aisyah ra.
2.
Kedudukan Madzhab Shabi Sebagai Sumber Hukum
Sesuai dengan
sifat fatwa sahabat seperti disebutkan diatas, maka kedudukan madzhab sahabat
juga bisa diklasifikasikan menjadi:
a.
Madzhab sahabat yang berdasarkan sabda dan perbuatan serta ketetapan Rasul wajib ditaati, sebab
hakikatnya ia merupakan sunah Rasul.
b.
Madzhab sahabat yang berdasarkan hasil ijtihad tetapi telah mereka
sepakati (ijma sahaby) dapat dijadikan hujjah dan wajib ditaati, sebab mereka
disamping dekat dengan Rasul, mereka mengetahui rahasia-rahasia tasyri dan mengetahui perbedaan pendapat
mengenai peristiwa yang sering terjadi.
c.
Madzhab sahabat yang tidak mereka sepakati tidak dijadika hujjah dan
tidak wajib diikuti
I.
Dalalat Al-Iqtiran
1.
Pengertian Dalalat Al-iqtiran
Yang dimaksud
dengan dalalat al-iqtiran ialah dalil-dalil yang menunjukan kesamaan hukum
terhadap sesuatu yang dsisebutkan bersama dengan sesuatu yang lain.
2.
Kedudukan Dalalat Al-Iqtiran Sebagai Sumber Hukum
Para ulama berbeda pendapat menganai kedududkan dalalat al-iqtiran
sebagai sumber hukum:
a.
Jumhur ulama berpendapat bahwa dalalat al-iqtiran tidak dapat
dijadikan hujjah, sebab bersama dalam satu susunan tidak mesti bersama dalam
hukum.
b.
Abu Yusuf dari golongan Hanafiyah, Ibnu Nashr dari golongan
Malikiyah dan Ibnu Ibn Abu Hurairah dari kalangan Syafi’iyah mernyatakan dapat
dijadikan hujjah. Alasan mereka bahwa sesungguhnya ‘athf itu menghendaki
musyarakat;
Contoh
dalalat al-iqtiran ialah firman Allah swt:
Artinya:
“Dan
sempurnakan ibadah haji dan umrah karena Allah”.
(QS. Albaqarah
196)
Berdasarkan
ayat ini, Imam Syafi’I menyamakan hukum umrah dengan haji, yaitu fardhu, sebab
kedua ibadah ini disebutkan dalam satu ayat.
BAB III
PENUTUPAN
A.
Simpulan
Ijtihad
merupakan suatu usaha yang dilakukan secara sungguh-sungguh dalam mengambil
hukum, dan mempunyai syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh seorang mujtahid,
yaitu syarat umum, khusus dan syarat pelengkap. Kedudukan hasil ijtihad dalam masalah fiqih terdapat 2 golongan
1.
Golongan pertama berpendapat bahwa tiap-tiap mujtahid adalah benar,
dengtan alasan karena dalam masalah tersebut Allah swt tidak menentukan hukum
tertentu sebelum diijtihadkan.
2.
Golongan kedua berpendapat bahwa yang benar itu hanya satu, yaitu
hasil ijtihad yang cocok jangkauanya dengan hukum Allah.
Ijtihad
mancakup beberapa bidang termasuk Akidah hukum mu’amalah, filsafat, politik,
akidah, tasawuf dan falsafat.
Macam-macam
method ijtihad yaitu: Istihsan, Istishab, Mashalih Al-Mursalah, Al-‘Urf, Syar’u
Man Qablana, Saddu Al-Dzari’ah, Madzhab Shahabi, Dalalat Al-Iqtiran. Dan semua
methode ini dapat dijadikan sumber hukum.
B.
Saran
Alhamdulillah akhirnya penyusun dapat
menyelesaikan makalah ini, segala koreksi dan saran demi kesempurnaan makalah
ini penyusun harapkan sebagai bentuk kepedulian bagi yang ingin menambah khazanah,
kekeliruan dan sebagai bahan untuk memperbaiki apa yang telah disusunnya.
Sehingga mudah-mudahan untuk waktu kedepannya, penyusun bisa lebih baik.
DAFTAR
PUSTAKA
·
Suparta,Dr. H. Mundsier. 2008.
Pendidikan Agama Islam Fikih. Semaranr :
PT Karya Toha Putra.
artikel yang menarik...jangan lupa ya singgah di blog sya ya...duniapendidikan33.blogspot.com
BalasHapusmakalahnya sangat membantu saya... sesuai dengan mata kuliah saya..kalau kayak gini jadi tahu aku metode ijtihad matur nuhun, semoga bermanfaat
BalasHapus